Seorang anak laki-laki Datuk Ahmad bernama Tining menikahi perempuan keluarga raja dan Tining diberi gelar Ki Agus. Dan nampaknya KA Tining adalah orang luar pertama yang mendapatkan gelar Ki Agus. Tahun-tahun berikutnya laki-laki yang mengawini perempuan keluarga raja selalu diberi gelar. Misalnya anak KA Munti yang bernama NA Kumal menikahi Saidin. Dan Saidin diberi gelar hingga menjadi KA Saidin. Keturunan mereka kemudian menggunakan gelar KA untuk laki-laki dan perempuan tidak NA tapi sebutan Dayang. Tradisi pemberian gelar dimaksudkan agar kedekatan anggota keluarga menjadi tidak merasa asing.Cakraninggrat IV KA Bustam dimakamkan di Balok Baru, satu kompleks dengan KA Mending dan KA Siasip.
Tahun 1740-1755, Depati Cakraninggrat V, KA Abudin menggantikan ramondanya KA Bustam. Pada masa pemerintahan KA Abudin Balok mengalami kemunduran. Pemerintahannya kurang mendapat simpati wataknya yang otoriter seperti ramondanya KA Bustam yang keras hingga banyak tak di sukai oleh penduduk juga para pedagang dan pendatang.
Sikap itu membuat adiknya yaitu KA Usman menjauhi istana dan mendirikan pemukiman baru di sungai Cerucuk. Sikap itu pula yang membuat Ngabehi Belantu mesti mengantarkan upeti dan tunduk ke Palembang tidak ke Balok, namun di masa berikutnya sudah menjadi tradisi maka Ngabehi Belantu mengantar upeti ke Mentok karena Palembang oleh Sultan Badarrudin menyerahkan Mentok pada Wan Abduljabar dari Johor sejak tahun 1724.Sikap masyarakat di kerajaan Balok terpecah menjadi dua hingga mereka yang tidak puas dengan pemerintahan KA Abudin mengadu kepada KA Usman. Karenanya, KA Usman meminta bantuan pada Sultan Palembang, pengaduan ini membuat KA Abudin marah hingga pertentangan tak terhindarkan. Perkelahian tak dapat ditawar, peristiwa ini dikenal dengan sebutan “begaris tanah” tak ada yang kalah dalam peristiwa di tepi sungai Berutak ini. Namun utusan Palembang telah datang menjemput KA Abudin. KA Abudin tidak diperkenankan pulang ke Belitung, ia menikah lagi di Palembang. Keturunan KA Abubin hingga kini tetap menyandang gelar KA atau Ki Agus. Raja ke V ini meninggal di Palembang dan dimakamkan di Pelayang.
Konsekwensi atas bantuan Sultan Palembang kepada KA Usman ini, menyebabkan KA Usman mesti mengirimkan 1000 (seribu) keping besi ke Palembang pada setiap tahunnya.
KA Usman kemudian membagi wilayah kekuasaan kepada anak-anak KA Abudin yang ditinggalkan. Yang tertua KA Rantie tetap mendiami Balok, KA Gunong Kurung berdiam di gunung labu tempat asal neneknya Putri Gunong Labu. KA Munti di beri wilayah di sekitar Gunung Petebu sekarang Parit Tebu (cikal bakal distrik Lenggang, wilayah ini kaya oleh tambang besi di gunung Selumar), dan Nyi Ayu Muncar ikut tinggal ke salah seorang abangnya.
Oleh KA Usman, KA Munti yang kemudian dinikahkan dengan Nyi Ayu Busu yaitu anak dari KA Usman sendiri. Perkawinan antar sepupu ini dimaksudkan agar kedua keluarga yang dulu berseteru kini kembali dekat. Perkawinan itu melahirkan KA Luso, NA Tenga, NA Kumal. KA Luso kemudian menurunkan KA Jalil. Keluarga ini dikenal dengan sebutan bangsawan Gunong Petebu.
Tahun 1755-1785, Depati Cakraninggart VI, KA Usman, pada masa beliau pusat pemerintahan dipindahkan dari hulu sungai Balok ke hulu sungai Cerucuk yang di kenal dengan sebutan Kota Karang . Di saat membuka lahan dan membangun Cerucuk maka mesti membuat dermaga dengan kade-kade di tepian sungai agar kapal dan perahu bisa ditambatkan dengan baik. Pembuatan dermaga ditepian sungai ini memerlukan banyak sekali kayu yang digunakan untuk cerucuk atau penahan pinggiran. Dengan banyaknya kayu cerucuk ini maka sungai ini pun kemudian oleh para pelayar yang berlabuh di situ menyebutnya dengan nama sungai Cerucuk.
Pada masa pengurukan tanah untuk dermaga, bijih timah tanpa sengaja diketemukan di sini. Berita ditemukannya bijih timah ini sampai pula kepada residen Palembang De Herre hingga pada tahun 1759 mendarat dekat Tanjungpandan untuk beberapa jam meneliti tanahnya. Tapi ia kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada bijih timah di sana (koppong erts) timah kopong adalah pasir yang mirip pasir timah tapi tak memiliki kandungan timah. Konon, pengkopongan pasir timah bisa dilakukan oleh para dukun tanah di Belitung.Pada masa KA Usman bijih timah digali secara tradisional dengan teknologi yang dipelajari dari penduduk Bangka (penduduk Bangka yang sudah dewasa mesti memberikan pajak timah kepada Sultan Palembang yang disebut timah tiban) penggalian bijih timah itu dikenal dengan sebutan sumur palembang.Meskipun begitu bijih timah ini belum bisa dilebur di Belitung maka mesti dilebur di Singkep dulu baru kemudian diperdagangkan ke Johor dan Malaka. Namun nampaknya bijih timah belum menjadi komoditi utama pada masa ini dibandingkan dengan penggalian bijih besi yang sudah digali sejak lama.Pada tahun 1784, di muara dekat pulau Kalamoa, berlabuhlah armada perahu delegasi dari Palembang dipimpin oleh Syarbudin hendak menuju Kota Karang. Rombangan armada perahu KA Usman datang menjemput tapi sekonyong muncul pula armada bajak laut dari arah lain yang dipimpin oleh Syaid Ali dari Siak*) maka pertempuran tak terhindarkan, KA Usman tewas dan mayatnya tak diketemukan hingga beliau dikenal dengan sebutan Depati Hilang dilaut. Perairan laut menjadi tidak aman oleh bajak laut. Sejak kematian KA Usman pengiriman upeti berupa bijih besi ditiadakan hubungan Belitung dengan Palembang terputus, Bangka mengalami hal yang sama apalapi para bajak laut selalu merampok tambang-tambang timah di Bangka, terutama bajak laut dari Lingga yang dipimpin oleh Panglima Raman.
Tahun1785-1815, Depati Cakraninggrat VII KA Hatam memerintah. menggantikan ramondanya KA Usman yang tewas di laut . KA Hatam, mendatangkan para penggali timah dari China di Johor lewat Tumasik. Hubungan dengan orang China ini, menyebabkan KA Hatam mengambil istri kedua seorang China yang kemudian menjadi mukhalaf dengan gelar Dayang Kuning.
Perdagangan timah terus berlanjut secara diam-diam setelah dilebur di Singkep kemudian dibawa ke Johor dan Malaka lewat Tumasik. Seorang akhli pertimahan bernama Tuk Munir dari Singkep didatangkan.
Tahun1786, setelah Inggris menguasai Pulau Pinang dan sekitarnya, perdagangan timah dari Belitung dihentikan oleh Depati sendiri. Palembang mulai dipengaruhi Inggris untuk mengusir Belanda, Inggris memberikan bantuan persenjataan hingga pada 14 September 1811 terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap orang Belanda. Pada tahun 1812 Inggris menguasai Palembang.
Tahun 1813, Inggris oleh Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Jendral Gillespie menguasai Palembang, terus Mayor W. Robinson meduduki Bangka kemudian mengutus Tengku Akil dari Siak guna menguasai Belitung. Tengku Akil mendapat perlawanan, dalam peretempuran itu Depati KA Hatam tewas dengan kepala terpotong atau terkerat. Anaknya yang masih berusia muda, KA Rahad dan beberapa saudaranya yang lain berhasil diselamatkan sepupunya KA Luso. KA luso dan orang-orang berhasil mengusir Tengku Akil hingga tengku Akil lari ke bersembunyi di Pulau Lepar dan kemudian tahun 1820 Tengku Akil menjadi kaki tangan Belanda di Bangka tapi mendapat perlawanan pula oleh Demang Singa yuda dan Juragan Selan hingga perahu dan pasukannya ditenggelamkan.
*) Berdasarkan Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap; Raja yang bertahta pada sekitar tahun 1780 adalah raja Ismail, ia merupakan salah seorang bajak laut terbesar. Sejak dulu Siak adalah kerajaan maritim yang kuat. Satuan-satuan angkatan Siak sering menyerang Johor, Malaka, dan berbagai tempat di pantai barat dan timur semenanjung. Sebagian besar daerah-daerah timur Sumatra dari Langkat sampai Jambi, konon takluk pada Siak. - William Marsen “Sejarah Sumatra” .hal.211. Terjemahan A.S Nasution dan Mahyudin Mendim. PT.Remaja Rodakarya, Bandung, Th. 1999.
Tahun 1821-1854, masa perjuangan dan pemrintahan Depati Cakraninggrat VIII, KA Rahad. Upaya Hindia Belanda untuk menguasi Belitung dan mencari bijih timah.Setelah KA Hatam meninggal, terjadi ketidak lancaran pemerintahan karena KA Rahad yang masih muda untuk menjadi raja. Para pekerja parit timah di cerucuk mengungsi dengan membuka pemukiman baru di tepi Sungai Seburik.Pada 20 pebruari 1817 Palembang diserahkan kembali oleh Inggris ke Belanda. Kemudian pada 21 Oktober 1821, datanglah Syarif Mohamad dari Palembang guna membuka jalan bagi masuknya Belanda ke Belitung dan mengibarkan untuk pertama kali bendera Belanda di Tanjung Simba. Syarif Mohamad mencoba untuk menguasai kedudukan Depati KA Rahad yang masih berusia muda, tapi upaya itu tak berhasil. Tahun 1822, Kapten bangsa Belgia, J.P. de la Motte datang dengan pasukannya, mendarat di Tanjung Gunung, namun ia dapat diusir oleh KA Rahad hingga bergabung dengan Syarif Muhamad di Tanjung Simba.KA Rahad dan orang-orang mendirikan benteng di Tanjung Gunung karena benteng Kute di Cerucuk terlalu jauh untuk berhadapan dengan orang asing yang masuk ke Belitung lewat muara sungai cerucuk. Kekhawatiran J,P. De la Motte cukup beralasan untuk menghadapi KA Rahad di Tanjung Gunung maka dengan bantuan orang-orang China di Seburik, ia membangun Benteng di Tanjung Simba (Belakang Museum Tanjungpandan)Tahun 1823, J.P. de la Motte meninggalkan Belitung karena usahanya untuk menemukan bijih timah gagal dan ia digantikan oleh J.W. Bierschel yang dikawal oleh Kapten Kuehn.
J.W. Bierschel menjadi asisten resident pertama dari resident yang ada di Mentok Bangka. J.W. Bierschel dalam kepentingannya mencari bijih timah. Pegawai Hindia Belanda ini cukup lunak dan bijaksana dalam menghadapi KA Rahad dan orang-orangnya. Ia bahkan mengusulkan agar hak-hak KA Rahad diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sikap Lunak ini membuat KA Rahad memberikan kesempatan untuk tinggal di Benteng Tanjung Gunung. Dan KA Rahad kemudian membangun rumah kediaman barunya (menurut manuskrip KA Abdul Hamid tahun 1934, istana KA Rahad antara Palmenlaan dan Heerenstraat) di situlah Depati KA Rahad mulai mengendalikan pemerintahannya, nampaknya ini awal berdirinya kota Tanjungpandan.
Sikap akomodatif dari asisten resident J.W. Bierschel terhadap KA Rahad, membuat Syarif Muhamad merasa tidak senang karena seolah mengacuhkan dirinya yang sebelumnya telah dipercayakan untuk menguasai Belitung dan Syarif Muhamad pun pulang pada tahun 1824 dan mengadukan tindak-tanduk J.W. Bierscel kepada resident di Mentok hingga tahun 1826, J.W. Biercshel ditarik pulang. Sebenarnya bukan alasan itu ia ditarik pulang tapi karena untuk penghematan anggaran saja karena pencarian timah oleh J.W. Bierschel gagal disebabkan Depati Rahad menolak untuk melakukan penggalian-penggalian. KA Rahad takkan memberikan kesempatan penggalian timah sebelum hak-hak kekuasaannya diakui oleh Belanda. Resident menerima laporan jika tidak ada timah di Belitung, tapi Syarif Muhamad mengetahui jika Depati KA Rahad tak memberikan kesempatan penggalian. Maka pada tahun itu juga 1826, Syarif Muhamad dengan pasukannya datang lagi ke Belitung, tapi ia dapat di halau hingga kembali ke Bangka tapi kemudian ia berhasil dibunuh hingga tewas di Mentok
Belitung kembali kosong dari kaki tangan Belanda tapi bendera Belanda di Tanjung Simba mesti tetap tegak. Karena itu, untuk menggantikan kekosongan maka Belitung diserahkan oleh Belanda kepada Syarif Hassim dari Lingga. Namun Syarif Hassim tak berumur panjang, ia tewas pula dan dimakamkam di sebelah penjara TanjungPandan.
Tahun 1830, Belanda di Palembang melihat ketidakmampuan resident Mentok untuk mengendalikan Belitung dibawah Depati KA Rahad. Maka Belanda mengutus Syarif Hasan, tapi pada tahun 1835. Syarif Hasan melarikan diri dan melaporkan semua kegagalan upayanya untuk menundukkan Depati KA Rahad. Untuk keberapa kalinya resident Belanda di Mentok kewalahan tapi Belitung tetap dibawah tangungjawabnya, karenanya tahun 1837 oleh Belanda, Belitung dipercayakan kepada Mas Agus Mohamad Asik dari Pulau Lepar. Tapi ia juga hanya bisa bertahan sampai awal tahun 1838.
Mas Agus Mohamad Asik, sesungguhnya tidak mengadakan perlawanan terhadap Depati KA Rahad. Tapi ia tidak disukai di Belitung karena ia adalah keturunan bajak laut, rupanya dendam terbunuhnya Deptai KA Usman oleh para bajak laut masih diingat oleh kelurga depati. Bukan saja itu pada masa itu juga, pemerintah pusat Belanda di Batavia, memberikan tugas khusus kepada J.J Roy seorang Prancis, guna membasmi bajak laut yang berada di perairan Belitung. J.J. Roy kemudian mengetahui jika Palembang lewat Adipati atau menteri utamanya terang-terangan melindungi para bajak laut. Atas jasa inilah J.J Roy menjadi resident sementara di Pelembang.
Pada tahun itu juga sebelum bulan Juli. Belanda mengirim tim ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel P.C. Riedel, guna menyelidiki dan mencari tahu tentang sikap Depati yang tak dapat ditundukkan oleh sekian orang pemimpin baik Belanda atau pun pribumi sendiri. Namun KA Rahad tidak mau bertemu dengan Kolonel P.C. Riedel. Namun ia nampaknya sudah cukup mendapat keterangan dari beberapa pihak atas keinginan KA Rahad. Maka P.C. Riedel juga mendengar anjuran Residen Bangka de Haase serta mantan asistent residen Belitung J.W. Bierschel, agar mengakui hak-hak KA Rahad sebagai Depati Belitung maka 1 Juli 1838, KA Rahad diakui Belanda sebagai Depati Belitung.
Setelah KA Rahad diberi keleluasaan memegang pemerintahan, beliau membagi wilayah Belitung menjadi 6 distrik yang sebelumnya baru ada 4 ngabehi. Agaknya KA Rahad mulai menggunakan istilah distrik untuk mengganti istilah ngabehi karena Belanda mulai mendata wilayah itu dengan menulis dan menyebutkan kata distrik untuk wilayah Ngabehi. 2 distrik baru itu adalah Tanjungpandan dan Lenggang. Kedua distrik ini tidak dipimpin oleh ngabei tapi langsung oleh keluarga raja, Disrik Tanjungpandan dipimpin oleh KA Mohamad Saleh, sedangkan Distrik Lenggang oleh KA Luso karena wilayah Lenggang sudah diwariskan oleh Depati Cakraninggrat VI KA Usman kepada KA Munti, ramonda KA Luso.
Tahun 1740-1755, Depati Cakraninggrat V, KA Abudin menggantikan ramondanya KA Bustam. Pada masa pemerintahan KA Abudin Balok mengalami kemunduran. Pemerintahannya kurang mendapat simpati wataknya yang otoriter seperti ramondanya KA Bustam yang keras hingga banyak tak di sukai oleh penduduk juga para pedagang dan pendatang.
Sikap itu membuat adiknya yaitu KA Usman menjauhi istana dan mendirikan pemukiman baru di sungai Cerucuk. Sikap itu pula yang membuat Ngabehi Belantu mesti mengantarkan upeti dan tunduk ke Palembang tidak ke Balok, namun di masa berikutnya sudah menjadi tradisi maka Ngabehi Belantu mengantar upeti ke Mentok karena Palembang oleh Sultan Badarrudin menyerahkan Mentok pada Wan Abduljabar dari Johor sejak tahun 1724.Sikap masyarakat di kerajaan Balok terpecah menjadi dua hingga mereka yang tidak puas dengan pemerintahan KA Abudin mengadu kepada KA Usman. Karenanya, KA Usman meminta bantuan pada Sultan Palembang, pengaduan ini membuat KA Abudin marah hingga pertentangan tak terhindarkan. Perkelahian tak dapat ditawar, peristiwa ini dikenal dengan sebutan “begaris tanah” tak ada yang kalah dalam peristiwa di tepi sungai Berutak ini. Namun utusan Palembang telah datang menjemput KA Abudin. KA Abudin tidak diperkenankan pulang ke Belitung, ia menikah lagi di Palembang. Keturunan KA Abubin hingga kini tetap menyandang gelar KA atau Ki Agus. Raja ke V ini meninggal di Palembang dan dimakamkan di Pelayang.
Konsekwensi atas bantuan Sultan Palembang kepada KA Usman ini, menyebabkan KA Usman mesti mengirimkan 1000 (seribu) keping besi ke Palembang pada setiap tahunnya.
KA Usman kemudian membagi wilayah kekuasaan kepada anak-anak KA Abudin yang ditinggalkan. Yang tertua KA Rantie tetap mendiami Balok, KA Gunong Kurung berdiam di gunung labu tempat asal neneknya Putri Gunong Labu. KA Munti di beri wilayah di sekitar Gunung Petebu sekarang Parit Tebu (cikal bakal distrik Lenggang, wilayah ini kaya oleh tambang besi di gunung Selumar), dan Nyi Ayu Muncar ikut tinggal ke salah seorang abangnya.
Oleh KA Usman, KA Munti yang kemudian dinikahkan dengan Nyi Ayu Busu yaitu anak dari KA Usman sendiri. Perkawinan antar sepupu ini dimaksudkan agar kedua keluarga yang dulu berseteru kini kembali dekat. Perkawinan itu melahirkan KA Luso, NA Tenga, NA Kumal. KA Luso kemudian menurunkan KA Jalil. Keluarga ini dikenal dengan sebutan bangsawan Gunong Petebu.
Tahun 1755-1785, Depati Cakraninggart VI, KA Usman, pada masa beliau pusat pemerintahan dipindahkan dari hulu sungai Balok ke hulu sungai Cerucuk yang di kenal dengan sebutan Kota Karang . Di saat membuka lahan dan membangun Cerucuk maka mesti membuat dermaga dengan kade-kade di tepian sungai agar kapal dan perahu bisa ditambatkan dengan baik. Pembuatan dermaga ditepian sungai ini memerlukan banyak sekali kayu yang digunakan untuk cerucuk atau penahan pinggiran. Dengan banyaknya kayu cerucuk ini maka sungai ini pun kemudian oleh para pelayar yang berlabuh di situ menyebutnya dengan nama sungai Cerucuk.
Pada masa pengurukan tanah untuk dermaga, bijih timah tanpa sengaja diketemukan di sini. Berita ditemukannya bijih timah ini sampai pula kepada residen Palembang De Herre hingga pada tahun 1759 mendarat dekat Tanjungpandan untuk beberapa jam meneliti tanahnya. Tapi ia kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada bijih timah di sana (koppong erts) timah kopong adalah pasir yang mirip pasir timah tapi tak memiliki kandungan timah. Konon, pengkopongan pasir timah bisa dilakukan oleh para dukun tanah di Belitung.Pada masa KA Usman bijih timah digali secara tradisional dengan teknologi yang dipelajari dari penduduk Bangka (penduduk Bangka yang sudah dewasa mesti memberikan pajak timah kepada Sultan Palembang yang disebut timah tiban) penggalian bijih timah itu dikenal dengan sebutan sumur palembang.Meskipun begitu bijih timah ini belum bisa dilebur di Belitung maka mesti dilebur di Singkep dulu baru kemudian diperdagangkan ke Johor dan Malaka. Namun nampaknya bijih timah belum menjadi komoditi utama pada masa ini dibandingkan dengan penggalian bijih besi yang sudah digali sejak lama.Pada tahun 1784, di muara dekat pulau Kalamoa, berlabuhlah armada perahu delegasi dari Palembang dipimpin oleh Syarbudin hendak menuju Kota Karang. Rombangan armada perahu KA Usman datang menjemput tapi sekonyong muncul pula armada bajak laut dari arah lain yang dipimpin oleh Syaid Ali dari Siak*) maka pertempuran tak terhindarkan, KA Usman tewas dan mayatnya tak diketemukan hingga beliau dikenal dengan sebutan Depati Hilang dilaut. Perairan laut menjadi tidak aman oleh bajak laut. Sejak kematian KA Usman pengiriman upeti berupa bijih besi ditiadakan hubungan Belitung dengan Palembang terputus, Bangka mengalami hal yang sama apalapi para bajak laut selalu merampok tambang-tambang timah di Bangka, terutama bajak laut dari Lingga yang dipimpin oleh Panglima Raman.
Tahun1785-1815, Depati Cakraninggrat VII KA Hatam memerintah. menggantikan ramondanya KA Usman yang tewas di laut . KA Hatam, mendatangkan para penggali timah dari China di Johor lewat Tumasik. Hubungan dengan orang China ini, menyebabkan KA Hatam mengambil istri kedua seorang China yang kemudian menjadi mukhalaf dengan gelar Dayang Kuning.
Perdagangan timah terus berlanjut secara diam-diam setelah dilebur di Singkep kemudian dibawa ke Johor dan Malaka lewat Tumasik. Seorang akhli pertimahan bernama Tuk Munir dari Singkep didatangkan.
Tahun1786, setelah Inggris menguasai Pulau Pinang dan sekitarnya, perdagangan timah dari Belitung dihentikan oleh Depati sendiri. Palembang mulai dipengaruhi Inggris untuk mengusir Belanda, Inggris memberikan bantuan persenjataan hingga pada 14 September 1811 terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap orang Belanda. Pada tahun 1812 Inggris menguasai Palembang.
Tahun 1813, Inggris oleh Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Jendral Gillespie menguasai Palembang, terus Mayor W. Robinson meduduki Bangka kemudian mengutus Tengku Akil dari Siak guna menguasai Belitung. Tengku Akil mendapat perlawanan, dalam peretempuran itu Depati KA Hatam tewas dengan kepala terpotong atau terkerat. Anaknya yang masih berusia muda, KA Rahad dan beberapa saudaranya yang lain berhasil diselamatkan sepupunya KA Luso. KA luso dan orang-orang berhasil mengusir Tengku Akil hingga tengku Akil lari ke bersembunyi di Pulau Lepar dan kemudian tahun 1820 Tengku Akil menjadi kaki tangan Belanda di Bangka tapi mendapat perlawanan pula oleh Demang Singa yuda dan Juragan Selan hingga perahu dan pasukannya ditenggelamkan.
*) Berdasarkan Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap; Raja yang bertahta pada sekitar tahun 1780 adalah raja Ismail, ia merupakan salah seorang bajak laut terbesar. Sejak dulu Siak adalah kerajaan maritim yang kuat. Satuan-satuan angkatan Siak sering menyerang Johor, Malaka, dan berbagai tempat di pantai barat dan timur semenanjung. Sebagian besar daerah-daerah timur Sumatra dari Langkat sampai Jambi, konon takluk pada Siak. - William Marsen “Sejarah Sumatra” .hal.211. Terjemahan A.S Nasution dan Mahyudin Mendim. PT.Remaja Rodakarya, Bandung, Th. 1999.
Tahun 1821-1854, masa perjuangan dan pemrintahan Depati Cakraninggrat VIII, KA Rahad. Upaya Hindia Belanda untuk menguasi Belitung dan mencari bijih timah.Setelah KA Hatam meninggal, terjadi ketidak lancaran pemerintahan karena KA Rahad yang masih muda untuk menjadi raja. Para pekerja parit timah di cerucuk mengungsi dengan membuka pemukiman baru di tepi Sungai Seburik.Pada 20 pebruari 1817 Palembang diserahkan kembali oleh Inggris ke Belanda. Kemudian pada 21 Oktober 1821, datanglah Syarif Mohamad dari Palembang guna membuka jalan bagi masuknya Belanda ke Belitung dan mengibarkan untuk pertama kali bendera Belanda di Tanjung Simba. Syarif Mohamad mencoba untuk menguasai kedudukan Depati KA Rahad yang masih berusia muda, tapi upaya itu tak berhasil. Tahun 1822, Kapten bangsa Belgia, J.P. de la Motte datang dengan pasukannya, mendarat di Tanjung Gunung, namun ia dapat diusir oleh KA Rahad hingga bergabung dengan Syarif Muhamad di Tanjung Simba.KA Rahad dan orang-orang mendirikan benteng di Tanjung Gunung karena benteng Kute di Cerucuk terlalu jauh untuk berhadapan dengan orang asing yang masuk ke Belitung lewat muara sungai cerucuk. Kekhawatiran J,P. De la Motte cukup beralasan untuk menghadapi KA Rahad di Tanjung Gunung maka dengan bantuan orang-orang China di Seburik, ia membangun Benteng di Tanjung Simba (Belakang Museum Tanjungpandan)Tahun 1823, J.P. de la Motte meninggalkan Belitung karena usahanya untuk menemukan bijih timah gagal dan ia digantikan oleh J.W. Bierschel yang dikawal oleh Kapten Kuehn.
J.W. Bierschel menjadi asisten resident pertama dari resident yang ada di Mentok Bangka. J.W. Bierschel dalam kepentingannya mencari bijih timah. Pegawai Hindia Belanda ini cukup lunak dan bijaksana dalam menghadapi KA Rahad dan orang-orangnya. Ia bahkan mengusulkan agar hak-hak KA Rahad diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sikap Lunak ini membuat KA Rahad memberikan kesempatan untuk tinggal di Benteng Tanjung Gunung. Dan KA Rahad kemudian membangun rumah kediaman barunya (menurut manuskrip KA Abdul Hamid tahun 1934, istana KA Rahad antara Palmenlaan dan Heerenstraat) di situlah Depati KA Rahad mulai mengendalikan pemerintahannya, nampaknya ini awal berdirinya kota Tanjungpandan.
Sikap akomodatif dari asisten resident J.W. Bierschel terhadap KA Rahad, membuat Syarif Muhamad merasa tidak senang karena seolah mengacuhkan dirinya yang sebelumnya telah dipercayakan untuk menguasai Belitung dan Syarif Muhamad pun pulang pada tahun 1824 dan mengadukan tindak-tanduk J.W. Bierscel kepada resident di Mentok hingga tahun 1826, J.W. Biercshel ditarik pulang. Sebenarnya bukan alasan itu ia ditarik pulang tapi karena untuk penghematan anggaran saja karena pencarian timah oleh J.W. Bierschel gagal disebabkan Depati Rahad menolak untuk melakukan penggalian-penggalian. KA Rahad takkan memberikan kesempatan penggalian timah sebelum hak-hak kekuasaannya diakui oleh Belanda. Resident menerima laporan jika tidak ada timah di Belitung, tapi Syarif Muhamad mengetahui jika Depati KA Rahad tak memberikan kesempatan penggalian. Maka pada tahun itu juga 1826, Syarif Muhamad dengan pasukannya datang lagi ke Belitung, tapi ia dapat di halau hingga kembali ke Bangka tapi kemudian ia berhasil dibunuh hingga tewas di Mentok
Belitung kembali kosong dari kaki tangan Belanda tapi bendera Belanda di Tanjung Simba mesti tetap tegak. Karena itu, untuk menggantikan kekosongan maka Belitung diserahkan oleh Belanda kepada Syarif Hassim dari Lingga. Namun Syarif Hassim tak berumur panjang, ia tewas pula dan dimakamkam di sebelah penjara TanjungPandan.
Tahun 1830, Belanda di Palembang melihat ketidakmampuan resident Mentok untuk mengendalikan Belitung dibawah Depati KA Rahad. Maka Belanda mengutus Syarif Hasan, tapi pada tahun 1835. Syarif Hasan melarikan diri dan melaporkan semua kegagalan upayanya untuk menundukkan Depati KA Rahad. Untuk keberapa kalinya resident Belanda di Mentok kewalahan tapi Belitung tetap dibawah tangungjawabnya, karenanya tahun 1837 oleh Belanda, Belitung dipercayakan kepada Mas Agus Mohamad Asik dari Pulau Lepar. Tapi ia juga hanya bisa bertahan sampai awal tahun 1838.
Mas Agus Mohamad Asik, sesungguhnya tidak mengadakan perlawanan terhadap Depati KA Rahad. Tapi ia tidak disukai di Belitung karena ia adalah keturunan bajak laut, rupanya dendam terbunuhnya Deptai KA Usman oleh para bajak laut masih diingat oleh kelurga depati. Bukan saja itu pada masa itu juga, pemerintah pusat Belanda di Batavia, memberikan tugas khusus kepada J.J Roy seorang Prancis, guna membasmi bajak laut yang berada di perairan Belitung. J.J. Roy kemudian mengetahui jika Palembang lewat Adipati atau menteri utamanya terang-terangan melindungi para bajak laut. Atas jasa inilah J.J Roy menjadi resident sementara di Pelembang.
Pada tahun itu juga sebelum bulan Juli. Belanda mengirim tim ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel P.C. Riedel, guna menyelidiki dan mencari tahu tentang sikap Depati yang tak dapat ditundukkan oleh sekian orang pemimpin baik Belanda atau pun pribumi sendiri. Namun KA Rahad tidak mau bertemu dengan Kolonel P.C. Riedel. Namun ia nampaknya sudah cukup mendapat keterangan dari beberapa pihak atas keinginan KA Rahad. Maka P.C. Riedel juga mendengar anjuran Residen Bangka de Haase serta mantan asistent residen Belitung J.W. Bierschel, agar mengakui hak-hak KA Rahad sebagai Depati Belitung maka 1 Juli 1838, KA Rahad diakui Belanda sebagai Depati Belitung.
Setelah KA Rahad diberi keleluasaan memegang pemerintahan, beliau membagi wilayah Belitung menjadi 6 distrik yang sebelumnya baru ada 4 ngabehi. Agaknya KA Rahad mulai menggunakan istilah distrik untuk mengganti istilah ngabehi karena Belanda mulai mendata wilayah itu dengan menulis dan menyebutkan kata distrik untuk wilayah Ngabehi. 2 distrik baru itu adalah Tanjungpandan dan Lenggang. Kedua distrik ini tidak dipimpin oleh ngabei tapi langsung oleh keluarga raja, Disrik Tanjungpandan dipimpin oleh KA Mohamad Saleh, sedangkan Distrik Lenggang oleh KA Luso karena wilayah Lenggang sudah diwariskan oleh Depati Cakraninggrat VI KA Usman kepada KA Munti, ramonda KA Luso.
No comments:
Post a Comment